Dugaan Tambang Ilegal di Laut Keranggan: Diduga Dikelola Warga Dan Perangkat Desa, Ada Aturan Setoran Rp800 Ribu Per Ponton oknum RW berdalih cuma mengentahui saja - INVESTIGASI 86 NEWS

Senin, 27 Oktober 2025

Dugaan Tambang Ilegal di Laut Keranggan: Diduga Dikelola Warga Dan Perangkat Desa, Ada Aturan Setoran Rp800 Ribu Per Ponton oknum RW berdalih cuma mengentahui saja



Muntok, Bangka Barat — Aktivitas tambang ilegal di perairan Laut Keranggan kembali menuai keprihatinan masyarakat. Santer beredar isu bahwa kegiatan tersebut dikelola oleh oknum perangkat desa dengan pengaturan tarif setoran bagi setiap ponton tambang yang beroperasi.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, setiap penambang diwajibkan menyetor Rp800 ribu untuk operasi siang hari, dan Rp1 juta apabila beroperasi siang dan malam. Aturan ini dikomunikasikan melalui pesan WhatsApp yang diduga disampaikan kepada para penambang.

Sebuah tangkapan layar yang diterima redaksi berbunyi:

“PERHATIAN YG BEGAWE SIANG SIAPKAN DUET 800 RIBU... SEBELUM GAWE SETORLAH KE PANITIA... SESUDAH KALIAN SETOR... BEGAWELAH. JANGAN BEGAWE KALO BLM SETOR 800 RIBU KE PANITIA.”

Selain itu, foto secarik kertas yang turut beredar memuat rincian pembagian dana setoran Rp800 ribu tersebut, yakni:

Masyarakat Rp500 ribu

Pemuda Rp100 ribu

Ibu-ibu Rp50 ribu

Janda, lansia, anak yatim & rumah ibadah Rp50 ribu

Dalam kertas itu juga tertera pihak yang “mengetahui” yaitu kelembagaan desa serta masyarakat Kelurahan Keranggan.
Temuan tersebut memunculkan tanda tanya: bagaimana mungkin wilayah laut yang merupakan kewenangan negara, seolah dapat “dikuasai” dan bahkan “dijual” oleh segelintir pihak? Masyarakat menilai hukum seakan menjadi bahan lelucon dengan dalih semua demi kepentingan warga.

Di sisi lain, penambang mengaku semakin terjepit. Seorang penambang selam berinisial RN mengatakan bahwa beban yang ditanggung jauh lebih besar dari hasil yang diterima.

“Sekali hidup mesin ponton sudah Rp800 ribu harus dibayar. Hasil timah dibeli dengan harga cek canting 130, tapi kami dibayar hanya Rp140 ribu. Itu pun sulit mencapai kadar tersebut. Akhirnya rata-rata dibayar di bawah Rp100 ribu. Sangat berat bagi kami untuk bertahan,” ujar RN, Sabtu 25 Oktober 2025.

Menurut RN, banyak penambang terpaksa tetap bekerja demi kebutuhan hidup meski sadar aktivitas tersebut rawan ditindak aparat.

Jika tarif setoran Rp800 ribu per ponton benar diberlakukan kepada 100 ponton, maka:

Rp100× 800000= Rp80.000.000

Total perputaran dana yang dikumpulkan mencapai Rp80 juta pada satu hari operasi.


Masyarakat menilai masalah ini bukan hal baru. Razia yang dilakukan aparat penegak hukum (APH), terutama Polairud, dinilai hanya membuat tambang terhenti sementara.

“Setiap kali dirazia, setelah polisi pergi tambang hidup lagi. Ini seperti permainan tanpa akhir,” keluh seorang warga.

Masyarakat mendesak agar pihak kelurahan maupun kepolisian memberikan penjelasan terbuka mengenai isu keterlibatan oknum perangkat desa dalam pengelolaan tambang ilegal ini.

Penanganan yang serius dan berkelanjutan dinilai menjadi kunci memutus dugaan rantai bisnis ilegal yang menindas penambang kecil dan menguntungkan sekelompok penyelengara kegiatan.

Hukum bagi perangkat desa, termasuk Ketua Rukun Warga ( RW ), yang menjadi dalang atau terlibat dalam pungutan liar(pungli) dari aktivitas penambangan ilegal adalah tindakan pelanggaran hukum yang serius dan dapat dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif/kepegawaian .

Secara umum, keterlibatan perangkat desa dalam kasus seperti ini melanggar beberapa ketentuan hukum utama:

1. Tindak Pidana Pungutan liar (Pungli) dan Pemerasan 
Perangkat desa (termasuk RW, meskipun secara hierarki berada di bawah struktur perangkat desa formal) yang melakukan pungli dapat dijerat dengan ketentuan pidana, antara lain:

Pemerasan: Jika pungutan tersebut dilakukan dengan memaksa atau memberikan nominal . seseorang memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu yang merugikannya, dapat dikenakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , seperti Pasal 368 tentang Pemerasan.

Penyalahgunaan Wewenang (jika diterapkan pada perangkat desa berstatus ASN/pegawai): Perbuatan pungli sering kali termasuk dalam kategori otoritas berwenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang dapat dihubungkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) , meskipun pungli secara spesifik juga memiliki terpisah.

Larangan Perangkat Desa: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa , perangkat desa dilarang, antara lain, menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya , serta melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme , termasuk menerima uang, barang, atau jasa yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakannya.

2. Tindak Pidana Penambangan Ilegal ( Penambangan Ilegal )
Sebagai dalang atau pihak yang memfasilitasi/melindungi penambangan ilegal, perangkat desa (RW) juga dapat dikenakan sanksi pidana terkait aktivitas pertambangan:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba): Pelaku penambangan tanpa izin ( illegal mining ) dijerat sanksi berat.

Pasal 158 UU Minerba menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga seratus miliar rupiah bagi setiap orang yang melakukan penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Keterlibatan: Dalam kasus perangkat desa yang menjadi dalang, ia dapat dianggap sebagai pelaku, penyuruh melakukan, atau juga melakukan tindak pidana pidana ilegal. Selain itu, jika terbukti menerima keuntungan dari hasil kejahatan tersebut, ia juga bisa dijerat dengan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) .

3. Sanksi Administratif (Pemberhentian)
Meskipun RW bukan perangkat desa dalam arti struktural formal (lebih sebagai mitra kerja dan unsur lembaga kemasyarakatan), jika ia adalah perangkat desa formal (seperti Kepala Dusun) atau ada peraturan daerah yang mengatur, maka ia juga dapat dikenakan sanksi administratif:

Pemberhentian: Keterlibatan dalam tindak pidana serius, seperti yang diatur dalam UU Desa dan peraturan turunannya, dapat menjadi alasan kuat untuk pemberhentian dari jabatannya.

Selain itu, perangkat desa (RW) yang menjadi dalang pungli tambang ilegal dapat dijerat dengan sanksi berlapis terkait pidana pungli/pemerasan, tindak pidana pertambangan ilegal, dan bahkan pencucian uang, di samping sanksi penghentian. Penindakan hukum idealnya dilakukan secara tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam tindakan merugikan negara dan lingkungan ini.

DPR RI: Sanksi Tegas Pelaku Tambang Ilegal Di Kalimantan Timur - TVR 120 membahas seruan dari DPR RI untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku penambangan ilegal, yang relevan dengan kasus keterlibatan perangkat desa dalam aktivitas tersebut.(agus)
Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done