Limbah B3 Puskeswan Lampung Selatan: Bertahan Hidup Sampai Anggaran Tiba - INVESTIGASI 86 NEWS

Kamis, 09 Oktober 2025

Limbah B3 Puskeswan Lampung Selatan: Bertahan Hidup Sampai Anggaran Tiba

LAMPUNG SELATANIInvestigasi86news.


Kalau limbah berbahaya (B3) bisa bicara, mungkin ia sedang menulis surat terbuka sekarang. Isinya singkat saja: “Tolong, aku bukan sampah biasa.”

Sayangnya, di Kabupaten Lampung Selatan, surat itu mungkin tak akan sempat dibaca. Karena nasib limbah B3 dari Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) masih lebih bergantung pada inisiatif pribadi ketimbang sistem yang dibuat pemerintah.

Ya, sistemnya memang ada tapi mungkin sedang cuti bersama.

Senin 6 Oktober 2025, suasana kantor Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan mendadak ramai. Sejumlah awak media datang membawa pertanyaan, bukan untuk menanyakan harga daging sapi, tapi tentang jarum suntik bekas dan botol obat yang ditemukan di belakang Puskeswan Natar Mandah.

Kepala dinas, Rini Ariasih, muncul dengan tenang  seperti seseorang yang baru saja memenangkan lomba sabar tingkat provinsi. Dengan nada yakin, ia mengatakan bahwa semua kekacauan itu hanya akibat dari kelalaian petugas lapangan.

Selesai. Tidak perlu investigasi, tidak perlu evaluasi. Cukup lempar satu kalimat ajaib: Sudah saya ingatkan.

Entah sejak kapan kata “mengingatkan ” jadi mantra sakti di birokrasi Kabupaten Lampung Selatan. Sekali diucap, semua dosa administratif seolah berpindah tempat  dari meja pejabat ke tangan petugas lapangan yang bahkan mungkin masih bingung cara menulis laporan harian.

Tapi yang paling menarik bukan itu. Dengan enteng, Rini mengatakan bahwa Petugas Puskeswan menitipkan limbah B3 itu ke Puskesmas.

Dan petugas Puskeswan melakukan pemusnahan limbah B3 sendiri. Tentu, hal itu terdengar masuk akal  kalau yang dibakar itu daun kering dan plastik ciki anak. Tapi ini limbah beracun, bukan pula arang sate.

Bahkan undang-undang sudah menulis dengan huruf kapital bahwa limbah B3 harus dikelola oleh pihak berizin. Bukan oleh tim pembakar dadakan di belakang gedung.

Menurut pakar lingkungan, tindakan seperti itu bukan Cuma salah kaprah, tapi juga bisa masuk ranah pidana. “Kalau jarum suntik bekas hewan masih mengandung darah, ada risiko penularan zoonosis  penyakit dari hewan ke manusia bisa ter infeksi. Dan kalau cairan obatnya bocor ke tanah, air, tanah, sumur bisa ikut ‘berbumbu farmasi’,” jelasnya.

Namun, di Lampung Selatan, hukum tampaknya kalah telak oleh satu kalimat klasik:

“Anggarannya belum ada, nanti baru jalan tahun depan.”

Ya, tentu. Mungkin limbah-limbah itu diminta sabar dulu sampai DIPA turun. Atau mungkin, mereka sedang ikut pengajian lingkungan hidup agar lebih tabah menunggu.

Padahal, sejak bertahun-tahun, tak ada mekanisme resmi untuk mengelola limbah medis hewan di kabupaten ini. Jadi kalau hari ini ada jarum suntik bekas berserakan, jangan heran. Itu bukan kelalaian, melainkan tradisi.

Padahal, kalau mau jujur, seluruh aturan sudah sangat lengkap mulai  dari PP No. 101 Tahun 2014 sampai UU No. 32 Tahun 2009. Ancaman pidananya juga jelas: tiga tahun penjara dan denda miliaran rupiah. Tapi ya, mungkin di ruang dinas, peraturan itu hanya dijadikan dekorasi dinding, biar terlihat “ramai dan berwibawa.”

Limbah yang berbahaya diserahkan ke petugas tanpa fasilitas, pejabat cukup dengan imbauan, dan semua merasa sudah bekerja sesuai SOP — Sistem Omongan Pejabat.

Dan saat wartawan datang, jurus pamungkas pun keluar: klarifikasi, tangkisan, dan senyum diplomatis. Sebuah kombinasi klasik yang membuat masalah tetap hidup, dan limbah tetap bahagia karena tak pernah benar-benar hilang.

Konon, isu ini bukan cerita baru kabarnya sudah mampir di setiap pembahasan sejak 2024. Tapi entah mengapa, limbahnya masih lebih cepat muncul ketimbang solusinya.

Apa tanggapan sang pemimpin Nomor satu di Lampung Selatan? Dan apakah semua  pelanggaran ini akan berujung pada laporan resmi, tunggu di Rilis berita selanjutnya.(SMstk)(KWT).

Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done